Hari ini, seharian dari pagi sampai petang saya bersama
keluarga berkesempatan untuk wisata religi di Sumenep, salah satu tempat yang
dikunjungi adalah pasarean/asta Pangeran Katandur atau Syekh Ahmad Baidawi
sebagai seorang penyebar agama Islam di kabupaten Sumenep dan sekaligus yang
pertama kali mengenalkan bercocok tanam dan membajak sawah menggunakan Nanggala
atau Salagah yang ditarik oleh dua ekor sapi, yang selanjutnya merupakan cikal
bakal budaya karapan sapi di Madura.
Kebiasaan membajak sawah menggunakan nanggala atau salagah yang
ditarik oleh dua ekor sapi inilah yang kemudian melahirkan kebudayaan karapan
sapi di Madura. Nanggala dan Salagah bentuknya sangat mirip pangonong yang dipakai dalam karapan sapi. Bedanya adalah di bagian kaleles tidak terdiri dari dua batang kayu yang biasanya dipakai untuk tempat tokang tongkok atau joki dalam karapan sapi, tapi hanya terdiri dari satu kayu bengok yang bagian bawahnya dilekatkan besi lancip yang bertujuan untuk membelah tanah yang disebut dengan saka'.
Menurut buku yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan danPariwisata Provinsi Jawa Timur yang bertajuk daya tarik wisata di kabupaten
Sumenep, Syekh Ahmad Baidawi ini merupakan putra dari Pangeran Pakaos yang
merupakan cucu dari Sunan Kudus. Beliau mendapatkan gelar Pangeran Katandur
karena merupakan penyebar agama islam yang menggunakan keahliannya di bidang
pertanian sebagai media untuk menyebarkan agama Islam. Katandur berasal dari
kata “Tandur” yang berarti ahli menanam atau ahli pertanian.
Pasarean/Asta Pangeran Katandur berada di kecamatan kota
Sumenep, tepatnya di belakang perumahan giling Sumenep. Seperti Pasarean/Asta seorang
yang dianggap wali dan berjasa lainnya setiap hari tidak pernah sepi dari
peziarah, dan pemerintah kabupaten Sumenep telah menetapkan Pasarean/Asta Pangeran
Katandur sebagai salah satu tempat wisata religi yang dimiliki oleh pemerintah
kabupaten Sumenep.
Read More | ![]() |